Saturday, November 10, 2018

Rindu dari Tanah Baru

Source : pixabay.com/id/langit-bayangan-hitam-masjid-57859/


Aku sedang rindu untuk bisa menulis sajak-sajak lagi.
Aku rindu menjadi sebuah cahaya yang bebas menelusup masuk ke celah-celah sudut ruang manapun.
Aku rindu menjadi hujan yang bebas jatuh ke tempat-tempat milik siapapun.
Aku rindu, dan sesungguhnya aku sedang rindu.

Beberapa bulan ini, aku sudah terbiasa melewati jalan-jalan ini. 
Jalan kecil yang cukup ramai di pinggiran sungai.
Aku sebut saja namanya Tanah Baru.

Seorang kakek menjajakan-menjual ikan hias di trotoar jalan arah simpang raya.
Tanpa sebuah tenda, tanpa saung, hanya bermodal teduh pohon yang melindungi dari panasnya siang atau hujan apabila tetiba datang.
Lima hari ini, aku senang untuk datang ke kedai kopi baru yang beratap terpal-berangka bambu.
Lima hari ini pula, emosiku naik turun secara tiba-tiba.
Lima hari ini pula, aku mulai berkaca-kaca pada masa lalu dan bagaimana memulai menata yang baru.

Di jalan ini, hampir rasanya akan selalu aku temui penyanyi-penyanyi jalanan dari pagi sampai malam.
Memutar lagu dengan sound diatas gerobak-gerobak yang didorongnya.
Ada yang bernyanyi sendiri, menjadi ondel-ondel, atau bahkan menjadi badut lucu dengan beragam atraksi menghiburnya.

Di sepanjang jalan ini, aku menyadari bahwa hidup tidak akan pernah hidup hanya dengan angan-angan. 
Bahwasanya hidup akan selalu dihadapkan pada pilihan, menerima untuk maju atau mengeluh untuk mundur. 

Lima hari ini, disebuah kedai kopi ini, aku selalu memesan cappucino es dan mie rebus rasa kari. 
Di kedai ini pula, aku biasa menghabiskan waktu satu hingga dua jam untuk berbicara pada diri sendiri.
Di kedai ini pula, aku banyak mendengar perjalanan hidup mas-mas pemilik kedai kopi. 
Bahwasanya hidup harus penuh antisipasi, merencanakan mimpi tapi jangan lupa untuk mengeksekusi.
Bahwasanya hidup tidak selalu bahagia dengan cukup memiliki, tapi akan terus bahagia dengan selalu mensyukuri.

Rupa-rupanya sore ini langitnya perlahan menggelap-menghitam. Sebentar lagi hujan, katanya.




Di sebuah kota yang asing, 10 November 2018
(Salah satu prosa dalam sebuah buku "Mentarimu Terbit Lagi")

No comments: