Saturday, November 24, 2018

Salam yang Kutitipkan

source : .sophiaonline.com.ar/columnistas/llamado-o-no-llamado-dios-estara-presente/
Kutitipkan salam pada hujan yang datang saat kupulang ke kota kelahiran.
Pada jalan-jalan aspal yang basah dan tergenang, pada orang-orang yang berteduh didepan toko-toko yang sudah tutup malam ini.

Dan pernahkah kamu merasa kehilangan?.
Sesuatu yang telah kamu bangun kini rubuh dan luluh lantak dalam sekejap.
Sampai-sampai kamu merapikannya pun merasa kebingungan, mana yang harus diawalkan dan diakhirkan, mana yang harus kamu mulai dan mana yang harus kamu tunda terlebih dahulu.

Kutitipkan salam pada hujan yang datang menyambutku pulang dari kota pengasingan.
Pada sebuah warung nasi yang kusinggahi saat mengisi perut yang sudah kelaparan di jalan Kesambi.

Dan pernahkah kamu merasa sangat asing di sebuah tempat yang sesungguhnya kamu telah kenal dengan baik.
Seperti berjalan menyusuri jalan-jalan namun engkau tak sadar jalan yang sedang engkau lewati, seperti melangkah namun sesungguhnya engkau sedang kehilangan arah.

Kutitipkan salam pada sebuah mobil angkutan yang kutumpangi saat pulang.
Pada langit yang telah beberapa lama tidak hujan tetapi akhirnya hujan turun juga tepat saat aku tiba disini.

Dan pernahkah kamu merasa sulit pada situasi yang sebenarnya tidak sulit.
Seperti sebuah teka-teki silang yang sudah kamu buat sendiri, namun kamu lupa cara untuk menjawabannya.
Seperti sebuah sandi di handphonemu yang sengaja kamu pasang untuk menjaga privasimu, tetapi kamu lupa tentang sandi itu sehingga kamupun seolah merahasiakannya juga pada dirimu sendiri.

Kutitipkan salam pada penjual martabak langganan di simpang raya kampung halaman.
Yang saat ini nampak sedikit sepi karena masih hujan.

Dan pernahkah kamu merasa khawatir akan masa depan. Akan seperti apa dan menjadi apa.
Seperti seorang petarung yang sudah tiba di medan perang dan telah lama berjalan munuju ke tempat ini, namun baru sadar bahwa senjatanya telah hilang di tengah perjalanan.
Lantas engkau tetiba dalam kebingungan.
Tetap maju berperang untuk memastikan kamu kalah atau menang, atau mungkin mundur sebagai seorang pecundang.

Kutitipkan salam pada secangkir kopi yang kuminum setelah tiba di rumah.
Yang sedikit menghangatkan tubuhku dari dinginnya hujan saat perjalanan.

Dan pernahkah kamu merasa bahwa roda hidup berputar begitu cepat.
Seperti sebuah pancaran kilat yang menyambar dengan suaranya yang besar dan menggema, namun cahayanya hilang dalam sekejap.
Seperti sebuah hidup dulu yang tidak pernah kamu syukuri, namun saat ini kamu mengandaikannya tentang andai bersyukur saat itu.
Namun nyatanya saat ini, semuanya tak akan kembali sama seperti dulu.

Kutitipkan salam pada doa yang kupanjatkan sebelum aku tidur.
Juga pada mimpi-mimpi yang akan dan telah kulewati saat nanti kuterbangun.

Dan pernahkah kamu menyadari bahwasanya waktu yang telah kamu lalui tidak akan pernah kembali.
Sebab waktu yang telah terjadi tidak akan pernah berjalan mundur untuk bisa diulangi.
Begitu juga tentang sebuah perkataan yang telah kamu ucapkan.
Sebab kata-kata itu tidak akan bisa ditarik lagi.
Sebab kata-kata bisa saja membangkitkan atau menjatuhkan, akan pula dapat menasehati atau bahkan memperburuk situasi.
Dan juga, pernahkah kamu menyadari tentang kesempatan yang sudah dan akan datang menghampiri.
Sebab itu tidak akan datang untuk kedua kali.
Sebab itu tidak akan datang sama persis dengan yang lalu.
Maka pikir dan pertimbangkanlah dengan baik dan baik-baik, sebelum semua waktu yang tiba hanyalah penyesalan dan kesedihan.







Di sebuah kota yang asing, 24 November 2018
(Salah satu prosa dalam buku "Mentarimu Terbit Lagi")


No comments: