source : .sophiaonline.com.ar/columnistas/llamado-o-no-llamado-dios-estara-presente/ |
Kutitipkan
salam pada hujan yang datang saat kupulang ke kota kelahiran.
Pada
jalan-jalan aspal yang basah dan tergenang, pada orang-orang yang berteduh
didepan toko-toko yang sudah tutup malam ini.
Dan
pernahkah kamu merasa kehilangan?.
Sesuatu
yang telah kamu bangun kini rubuh dan luluh lantak dalam sekejap.
Sampai-sampai
kamu merapikannya pun merasa kebingungan, mana yang harus diawalkan dan diakhirkan,
mana yang harus kamu mulai dan mana yang harus kamu tunda terlebih dahulu.
Kutitipkan
salam pada hujan yang datang menyambutku pulang dari kota pengasingan.
Pada
sebuah warung nasi yang kusinggahi saat mengisi perut yang sudah kelaparan di
jalan Kesambi.
Dan
pernahkah kamu merasa sangat asing di sebuah tempat yang sesungguhnya kamu
telah kenal dengan baik.
Seperti
berjalan menyusuri jalan-jalan namun engkau tak sadar jalan yang sedang engkau
lewati, seperti melangkah namun sesungguhnya engkau sedang kehilangan arah.
Kutitipkan
salam pada sebuah mobil angkutan yang kutumpangi saat pulang.
Pada
langit yang telah beberapa lama tidak hujan tetapi akhirnya hujan turun juga
tepat saat aku tiba disini.
Dan
pernahkah kamu merasa sulit pada situasi yang sebenarnya tidak sulit.
Seperti
sebuah teka-teki silang yang sudah kamu buat sendiri, namun kamu lupa cara
untuk menjawabannya.
Seperti
sebuah sandi di handphonemu yang
sengaja kamu pasang untuk menjaga privasimu, tetapi kamu lupa tentang sandi itu
sehingga kamupun seolah merahasiakannya juga pada dirimu sendiri.
Kutitipkan
salam pada penjual martabak langganan di simpang raya kampung halaman.
Yang
saat ini nampak sedikit sepi karena masih hujan.
Dan
pernahkah kamu merasa khawatir akan masa depan. Akan seperti apa dan menjadi
apa.
Seperti
seorang petarung yang sudah tiba di medan perang dan telah lama berjalan munuju
ke tempat ini, namun baru sadar bahwa senjatanya telah hilang di tengah
perjalanan.
Lantas
engkau tetiba dalam kebingungan.
Tetap
maju berperang untuk memastikan kamu kalah atau menang, atau mungkin mundur
sebagai seorang pecundang.
Kutitipkan
salam pada secangkir kopi yang kuminum setelah tiba di rumah.
Yang
sedikit menghangatkan tubuhku dari dinginnya hujan saat perjalanan.
Dan
pernahkah kamu merasa bahwa roda hidup berputar begitu cepat.
Seperti
sebuah pancaran kilat yang menyambar dengan suaranya yang besar dan menggema, namun cahayanya hilang dalam sekejap.
Seperti
sebuah hidup dulu yang tidak pernah kamu syukuri, namun saat ini kamu
mengandaikannya tentang andai bersyukur saat itu.
Namun
nyatanya saat ini, semuanya tak akan kembali sama seperti dulu.
Kutitipkan
salam pada doa yang kupanjatkan sebelum aku tidur.
Juga
pada mimpi-mimpi yang akan dan telah kulewati saat nanti kuterbangun.
Dan
pernahkah kamu menyadari bahwasanya waktu yang telah kamu lalui tidak akan pernah
kembali.
Sebab
waktu yang telah terjadi tidak akan pernah berjalan mundur untuk bisa diulangi.
Begitu
juga tentang sebuah perkataan yang telah kamu ucapkan.
Sebab
kata-kata itu tidak akan bisa ditarik lagi.
Sebab
kata-kata bisa saja membangkitkan atau menjatuhkan, akan pula dapat menasehati
atau bahkan memperburuk situasi.
Dan
juga, pernahkah kamu menyadari tentang kesempatan yang sudah dan akan datang
menghampiri.
Sebab
itu tidak akan datang untuk kedua kali.
Sebab
itu tidak akan datang sama persis dengan yang lalu.
Maka
pikir dan pertimbangkanlah dengan baik dan baik-baik, sebelum semua waktu yang tiba hanyalah
penyesalan dan kesedihan.
Di sebuah kota yang asing, 24 November 2018
(Salah satu prosa dalam buku "Mentarimu Terbit Lagi")
No comments:
Post a Comment